Pemikiran Bijaksana dari Tukang Mie Ayam


Sebelum lanjut baca novel Vandaria Saga: Winterlame, saya mau cerita kisah sederhana tentang penjual mie ayam di dekat rumah saya.

Mungkin sekitar dua tahun yang lalu, nampaknya tahun 2012, saya ngobrol dengan penjual mie ayam favorit saya di kawasan Rempoa, Ciputat, Tangerang, Banten.

Setelah obrolan yang cukup panjang ketika saya makan mie ayam yang dibeli darinya, akhirnya saya mengetahui bahwa dulunya bapak yang akrab disapa Kiting itu adalah penjual bakso di daerah Gintung.

Bapak yang akrab juga dengan panggilan Pakde itupun mengaku bahwa ia mengenal keluarga saya sejak jadi tukang bakso, ketika itu ibu saya masih kecil dan nenek saya baru punya dua anak. Nenek saya saat ini punya tujuh anak yang semuanya sudha berumah tangga.

Saya pun ingat ketika ia diundang oleh ibu saya untuk membuatkan bakso di acara ulang tahun adik laki-laki saya, Alif. Rasa baksonya memang luar biasa, gurih dan kenyal tapi bertekstur ketika digigit. Di samping itu, kuah baksonya juga enak banget.

Habis acara. Keesokan harinya, ia memutuskan untuk menghadirkan bakso dalam jualam mie ayamnya. Dan semua pelanggan memesan mie ayam bakso, bahkan tukang bakso asli yang ada di sekitar rumah saya jadi tidak laku.

Beberapa hari kemudian, terlihat di gerobaknya tidak lagi ada menu bakso.

Penasaran, saya pun bertanya.

"Pakde,kok nggak jualan mie ayam bakso lagi? Kenapa? padahal laku. "

"Kasihan tukang bakso. Dagangannya nggak laku," jawabnya.

"Lha, malah mikirin dagangan orang. Jarang-jarang ada pedagang model gini," ucap saya di dalam hati sambil menaikkan alis sebelah kanan.

"Hooo, jadi gitu. Ya sudahlah. Mie ayam satu mangkok deh Pakde, yang pedes ya. Ayamnya yang banyak."

"Bereees," jawabnya.

Nah, akhir tahun 2014 lalu saya sempat berbimcang-bincang lagi dengannya. Kali ini mengenai jumlah ayam cukup banyak di dalam mie ayamnya.

"Pakde, kok ayamnya banyak banget. Nggak rugi?"

Biasanya di tukang mie ayam lain, potongan ayamnya nggak sebanyak itu. Selain banyak, ayamnya juga segar, teksturnya masih mantap ketika digigit, karena ia menggunakan daging ayam kampung.

Pertanyaan itu berlum terjawab, saya pun melanjutkan.

"Kadang-kadang malah ada pedagang yang sengaja menggiling ayamnya supaya terlihat banyak. Padahal sedikit."

"Saya sih ambil untungnya sedikit saja, yang penting dagangan laku dan pelanggan senang," jawabnya sambil membereskan mangkok.

Penasaran dengan harga, saya bertanya lagi.

"Sekarang harganya naik ya Pakde?"

"Ia dek, naik seribu rupiah," jawabnya. "Daripada saya harus mengorbankan kualitas mie ayam yang saya jual, takutnya pelanggan jadi kecewa. Lebih baik naikkan harga sedikit supaya saya tetap untung, dan pelanggan tetap merasa enak."

"Ia sih Pakde," ucap saya sambil makan (tidak sopan ini).

***

Saya suka dengan mie ayam Pakde karena rasanya yang enak, gurih dan yang terpenting ayamnya itu lho, banyak. Tekstus mie-nya kenyal, panjang dan tidak mudah putus. Daun sawinya juga segar, tidak pahit. Dan bagi anda penggemar pedas, sambelnya menggit banget.

Tempat makannya juga bagus, bersih. Walaupun jualnya menggunakan gerobak mie ayam, tapi ia bersama teman-temannya, penjual nasi goreng, sate dan ayam goreng, berjualan makanan di dalam ruangan. Bisa dibilang mirip food court lah, tapi bukan seperti di mall atau cafe.

Hal selain makanan yang membuat saya betah beli mie ayam di Pakde adalah kepribadiannya yang menyenangkan dan ramah. Pelayanannnya terhadap pembeli juga gesit. Menawarkan sambil, kecap, saos dan air minum (air putih gratis).

Demikianlah ulasan saya mengenai mie ayam Kiting.

Apabila ingin mencobanya, datang saja ke Masjid Al-Jihad di siang hari. Di atas jam satu siang hingga sekitar jam delapan malam. Kadang-kadang, dagangannya sudah habis sebelum jam tujuh malam.

Sampai jumpa pada ulasan kuliner selanjutnya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fish & Chips Solaria, Carrefour Lebak Bulus

Nggak Ada Plastik Nempel atau Lengket, Inilah Cara Jenius Makan Kue Keranjang

Nikmatnya Nasi Goreng Kepiting Rajungan di Solaria, AEON Mall